Standar Sukses, Lain di Sana, Lain di Sini

Cerita ini ditulis dalam perjalanan pulang dari liburan keluarga di Palembang, pasca silaturahim ke kampung orang tua saya, kembali ke Lampung. Supir yang membawa mobil travel yang kami tumpangi ini, sebut saja dia ‘Galing’ (bukan nama sebenarnya), karena memang orangnya supel, jadilah sepanjang jalan sejak kami dijemput dari hotel di kawasan Jalan Jend. Sudirman Palembang, hampir tidak ada waktu kosong lama tanpa sebuah percakapan.

Dari cara berbicara dan banyak hal yang keluar dari mulutnya, dia tidak pantas dijuluki orang tak berpendidikan. Mungkin kamu juga bisa membedakan hal-hal tertentu ketika bertemu dengan orang yang sekolah tinggi atau dengan ‘orang yang tidak sekolah’, dalam tanda kutip karena menurut saya, ada tipe orang yang memang tidak sekolah dan ada tipe orang yang sekolah, tapi malah seperti orang yang tidak sekolah, misalnya omongan-omongan yang keluar dari mulutnya hanyalah omongan-omongan kosong. Beliau tidak seperti itu, isi pembicaraan yang dia keluarkan sama sekali tidak menunjukkan bahwa dia orang yang tidak berpendidikan.

Dari sebuah topik pembicaraan, kami sampai pada kesimpulan bahwa si Mas Galing ini adalah seorang lulusan strata-1 jurusan farmasi dari sebuah sekolah tinggi swasta di Palembang. Ada yang sudah menyadari sesuatu? Yap. Sekarang dia bekerja sebagai supir travel.

Berulang kali dia berbicara tentang nasib, tapi tak nampak rona penyesalan dari wajah atau pun dari nada bicaranya. Kami sempat merasakan nada bangga ketika ia mengatakan “Saya lulusan S-1, Bu”. Ia bilang, “Kadang, saya memang malu ketika bertemu dengan teman sekolah atau kuliah dulu yang sudah sukses, tapi yaa, mau bagaimana lagi. Saya belum bisa seperti mereka.”

“Kerja di luar negeri, dua tahun, saya pernah. Tapi ya sama-sama aja, hasilnya sama aja dengan di sini. Nyupir angkot saya juga pernah, selama kuliah di tahun 2007, keluar sore, semalaman hanya dapet uang lima ribu juga pernah,” lanjutnya.

“Tahun 2009, saya pernah nyoba ikut tes CPNS di Liwa (ibukota kabupaten Lampung Barat), yang ikut delapan orang, yang lolos empat orang. Tapi, ketika kami tes, ada bisik-bisik mengatakan ‘yang diambil adalah putra daerah’, (sementara pada saat itu ia bukanlah penduduk Liwa). Bahkan yang mengawas pun sudah tidak peduli, malah ngobrol. Tes tahun terakhir, saya juga ikut. Sebelumnya saya bertemu dengan adik tingkat semasa sekolah, dia bilang, dia dapat info dari “orang dalam” bahwa sudah ada lima kursi ‘booking-an’.”

Ketika kami tanya, kenapa dia dapat info seperti itu? Jawabannya adalah karena sebenarnya, awalnya ia juga bermaksud ikut mem-booking, tapi sayangnya telat mendaftar. See?

“Sudah nggak semangat kan jadinya,” ujarnya.

Percakapan selanjutnya adalah, “Begitulah Lampung”. (Saya menuliskan hal ini bukan bermaksud menjelek-jelekkan sebuah provinsi di Indonesia, sebagai tujuan. Hanya menceritakan apa yang menjadi bahan perbincangan dari kejadian yang saya tuliskan ceritanya ini.)

“Di Provinsi Bangka beda lagi. Tidak ada kecurangan dalam hal penerimaan CPNS. Masih ‘murni’, kalau kata orang. Karena apa, begitu ada pegawai yang ketahuan ‘macam-macam’, bisa langsung dipecat”.

Sistem yang patut dicontoh oleh provinsi-provinsi lain di Indonesia.

Hikmahnya, seburuk apa pun kondisi lingkungan yang sudah ada, kalau kita optimal berupaya, berdoa, dan bertawakkal, apa lagi yang mesti dikhawatirkan? Karena bertawakkal adalah memasrahkan segala hasilnya pada Yang Maha Kuasa. Dan yakin. Yakin dan berhusnudzon kepada Allah.

Satu yang paling penting adalah, jangan pernah meyamakan standar kesuksesan kita dengan standar kesuksesan orang lain. Karena pasti berbeda dan tidak bisa dipaksakan untuk sama.

4 thoughts on “Standar Sukses, Lain di Sana, Lain di Sini

Leave a comment